Langsung ke konten utama

ROBI'AH ADAWIYYAH


Rabi’ah yang sejak kecil rohaninya terbina dalam keluarga muslim dan kondisi sosialnya, membuatnya memilih hidup zuhud, setelah bebas dari budak. Kezuhudannya dapat dilihat dalam berbagai sikap hidup dan kata-katanya.

Ketika sufyan al-tsauri menanyakan tentang hikmah, Rabi’ah menjawab, “Alangkah baiknya bagimu jika engkau tidak mencintai dunia ini”. Dan ketika ada temannya yang akan member rumah kepadanya, ia menolak dengan mengatakan: “Aku takut kalau-kalau rumah ini mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Dia juga member
nasehat kepada orang-orang yang mengunjungi: “Pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang hina tak berdaya, itu lebih baik bagimu”.

Suatu hari Malik bin Dinar menemui Rabi’ah di rumahnya sedang minum dengan tempat air dari bejana yang pecah dan beralaskan tikar yang kumuh serta tersedia bantal untuk tidur dari batu. Melihat hal itu Malik berkata, “Wahai Rabi’ah, banyak  kawan saya yang kaya. Sudikah engkau menerima pemberian mereka?”

Rabi’ah menjawab, “Wahai Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan itu memang ucapan yang salah. Yang member rizki kepada kawan-kawan mu yang kaya raya itu adalah Allah yang juga telah memberikan rizki kepadaku. Apakah engkau akan menyatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh rizki, sementara orang miskin tidak? Kalau Allah menakdirkan kondisi kita begini maka tugas yang perlu kita laksanakan menerimanya dengan penuh tawakal.”

Pernah pula berdatangan sukarelawan yang hendak bergotong-royong memperbaiki rumah Rabi’ah dan mengisinya dengan perabot-perabot rumah tangga, maka Rabi’ah berkata kepada mereka: “Saya tidak memerlukan keduniaan. Sungguh, diriku tak lebih hanyalah seorang musafir. Bukankah seorang musafir tidak memerlukan apa-apa kecuali sekedar bekal penunjang hidupnya?”

Ketika seorang hartawan menawarkan kemurahan hatinya hendak memenuhi semua kebutuhan Rabi’ah dengan membuka peluang agar Rabi’ah meminta segala hal yang dibutuhkan, Rabi’ah mengatakan, “Aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada yang pemiliknya, maka bagaimana bisa aku meminta kepada yang bukan pemiliknya?”

Rabi’ah pernah menangis karena mendengar Sufyan al-Tsuri berdoa, “Tuhan Yang Maha Kuasa, kumohon harta duniawi dari-Mu.” Ketika ditanya kenapa menangis, Rabi’ah menjawab: “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah meninggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat engkau hanya mencarinya di dunia ini saja”.

Rabi’ah memang menolak atau menghindari kehidupan kemewahan duniawi. Akan tetapi kenyataannya ia hidup di dunia. Oleh karena itu, tentang dunia itu sendiri, ia mempunyai pandangan tentangnya. Sebagaimana penjelasannya dalam menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Dari mana engkau datang?

Aku datang dari dunia lain.

Engkau hendak kemana?

Pergi ke dunia yang lain.

Kalau begitu, apa yang kau lakukan di duniawi ini?

Untuk memanfaatkannya.

Bagaimana engkau memanfaatkannya?

Aku bekerja dan beramal demi hidup abadi di akhirat.

Sumber : Buku Kisah-Kisah Pencerahan Sufi karya Mufidul Khoir

Komentar

Popular Posts

Tangisan Rasulullah SAW Ingat Umatnya di Akhir Zaman

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika itu baginda Rasullah  sedang berkumpul duduk bersama sahabat-sahabatnya, diantara para sahabat ada Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan lainnya. Lalu kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, “Wahai sahabatku! Tahukah kalian siapakah hamba Allah yang paling mulia disisi Allah?” Para sahabat pun terdiam. Lalu ada salah seorang sahabat berkata, “Para malaikat ya Rasulullah!” Kemudian Nabi bekata, “Ya, para malaikat itu mulia, mereka dekat dengan Allah mereka senantiasa bertasbih, berzikir, beribadah kepada Allah, tentulah mereka mulia. Namun bukan itu yang Aku maksud.”  Lalu para sahabat kembali terdiam. Kemudian salah seorang sahabat kembali menjawab, “Ya Rasulullah, tentulah para Nabi, mereka itu yang paling mulia.” Nabi Muhammad tersenyum, Baginda Nabi berkata, “Ya, para nabi itu mulia, mereka itu adalah utusan Allah di muka bumi ini, mana mungkin mereka tidak mulia, tentulah mereka mulia, akan tetapi ada lagi ya

Pengertian Dekat Kepada Allah

Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah SWT. Bagaimana pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut: "Dekat anda kepada-Nya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak (demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekat-Nya? Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti, karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut: A. Pengertian "dekat Allah SWT dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan pada kehendak (iradah). DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah SWT dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini be

RAHASIA DIBALIK USIA 40 (Menyingkap Rahasia Nubuwwah Rasulullah SAW)

Rahasia umur Muhammad saat nubuwah, mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Mengapa Nabi Muhammad SAW. mengemban misi kenabian saat beliau berusia 40 tahun? Dan bukannya usia 30 atau 35, puncak kehebatan [fisik] manusia? Mengapa harus 40 tahun? saat fisik sudah berada di jalur turun, ibarat naik roll coster, 0-39 th adalah ketika kereta merambat naik, lalu di usia 40 lah si kereta roll coster mencapai puncak rel dan kemudian meroket turun.