Langsung ke konten utama

Al-Hikam: Interaksi Ubudiyah Dan Rububiyah

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary :

”Bila anda ingin dilimpahi anugerah-anugerah, maka benarkanlah kefakiranmu dan rasa butuhmu di hadapanNya."

”Sesungguhnya sedekah-sedekah  itu hanya bagi orang-orang yang fakir.” (At-Taubah 60).

Apa yang dimaksud dengan meluruskan dan membenarkan kefakiran dan rasa butuh itu? Maknanya adalah menguatkan keduanya dalam dirimu, hingga

sampai pada tingkat rasa yang kuat dalam seluruh waktu dan keadaan. Jika belum bisa, anda harus meyakini bahwa dua sifat tersebut akan selalu ada dalam eksistensi anda, karena secara esensial sifat fakir dan butuh itu selalu ada padamu.

Menurut Syeikh Zarruq hal ini harus diwujudkan dengan:

Megukur bahwa diri anda sesungguhnya tiada.

Mewujudkan hal itu secara rinci dalam kondisi anda. Bahwa dalam gerak atau diam, tetap saja ketiadaan anda menjadi bukti.

Selebihnya siapa yang benar kefakirannya maka ia berhak mendepatkan sedekah dari Allah Azza wa-Jalla berupa anugerah-anugerahNya.

Syeikh Abul Hasan asy-Sayadzily ra,  mengatakan :

”Cara membenarkan kehambaan kita adalah melazimkan kefakiran, ketakberdayaan, hina dina dan rasa lemah, hanya bagi Allah Ta’ala. Dan sebaliknya adalah Sifat Ketuhanan, dan anda tidak berhak memakainya. Karena itu tetaplah berpijak pada sifat kehambaan anda, dan bergantung pada sifat KetuhananNya.

Katakan dari hamparan rasa lemah yang hakiki, ”Wahai Yang Maha Kuat, kepada siapa lagi bagi si lemah ini selain bergantung padaMu?”

Dan dari hamparan kefakiran yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kaya, kepada siapa lagi bagi si fakir ini selain bergantung kepadaMu?”

Dan dari hamparan rasa tak berdaya yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Kuasa kepada siapa lagi bagi si tak berdaya ini, kalau tidak bergantung kepadaMu?”

Dari hamparan hina dina yang hakiki, katakan, ”Wahai Yang Maha Mulia, kepada siapa lagi bergantung bagi si hina ini, kecuali kepadaMu?”

Maka anda akan meraih Ijabah sepanjang tanganmu menengadah, dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya Allah swt menyertai orang-orang yang sabar.”

Selanjutnya Ibnu Athaillah menegaskan:

”Wujudkan sifatmu, engkau akan dilimpahi dengan sifat-sifat-
Nya, dan wujudkanlah melalui rasa hina dinamu engkau dilimpahi Kemuliaan-Nya, wujudkan rasa tak berdayamu engkau dilimpahi  dengan Kemampuan dari-Nya, wujudkan dengan rasa lemahmu engkau dilimpahi daya dan kekuatan-Nya.”

Manusia sebagai hamba, harus terus menerus memelihara dan mewujudkankan kehambaannya. Sifat fakir, hina, tak berdaya dan lemah harus terus menerus diwujudkan, dan itulah sebagai hamparan bagi limpahan anugerah melalui Sifat-sifat Rububiyah-Nya kepada kita.

Sehingga kita bisa mulia bersama Allah, Kaya bersama-Nya, Mampu bersamaNya, Kuat bersama-Nya, bukan bersama dirimu, karena kalau bersama dirimu yang muncul adalah bentuk kesombongan dan kecongkakan.

Keakuan anda harus dilipat dan seluruh sifat kehambaan adalah bentuk  peleburan ego kita. Egoisme dan keakuan itulah penghalang kehambaan, sehingga menghalangi pula ketergantungan kita pada Sifat KetuhananNya.

*Sumber sufinews.com

Komentar

Popular Posts

Tangisan Rasulullah SAW Ingat Umatnya di Akhir Zaman

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika itu baginda Rasullah  sedang berkumpul duduk bersama sahabat-sahabatnya, diantara para sahabat ada Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan lainnya. Lalu kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, “Wahai sahabatku! Tahukah kalian siapakah hamba Allah yang paling mulia disisi Allah?” Para sahabat pun terdiam. Lalu ada salah seorang sahabat berkata, “Para malaikat ya Rasulullah!” Kemudian Nabi bekata, “Ya, para malaikat itu mulia, mereka dekat dengan Allah mereka senantiasa bertasbih, berzikir, beribadah kepada Allah, tentulah mereka mulia. Namun bukan itu yang Aku maksud.”  Lalu para sahabat kembali terdiam. Kemudian salah seorang sahabat kembali menjawab, “Ya Rasulullah, tentulah para Nabi, mereka itu yang paling mulia.” Nabi Muhammad tersenyum, Baginda Nabi berkata, “Ya, para nabi itu mulia, mereka itu adalah utusan Allah di muka bumi ini, mana mungkin mereka tidak mulia, tentulah mereka mulia, akan tetapi ada lagi ya

Pengertian Dekat Kepada Allah

Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah SWT. Bagaimana pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut: "Dekat anda kepada-Nya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak (demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekat-Nya? Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti, karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut: A. Pengertian "dekat Allah SWT dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan pada kehendak (iradah). DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah SWT dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini be

RAHASIA DIBALIK USIA 40 (Menyingkap Rahasia Nubuwwah Rasulullah SAW)

Rahasia umur Muhammad saat nubuwah, mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Mengapa Nabi Muhammad SAW. mengemban misi kenabian saat beliau berusia 40 tahun? Dan bukannya usia 30 atau 35, puncak kehebatan [fisik] manusia? Mengapa harus 40 tahun? saat fisik sudah berada di jalur turun, ibarat naik roll coster, 0-39 th adalah ketika kereta merambat naik, lalu di usia 40 lah si kereta roll coster mencapai puncak rel dan kemudian meroket turun.