Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah SWT. Bagaimana pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Dekat anda kepada-Nya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak (demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekat-Nya?
Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti, karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut:
A. Pengertian "dekat Allah SWT dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan pada kehendak (iradah).
DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah SWT dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini belum diciptakanNya, selain yang ada hanya Dia, yakni Allah SWT.
Dekatnya Allah dengan kita pada 'kekuasaan' (qudrat), artinya segala sesuatu apa pun, baik yang adanya dari tiak ada atau kebalikannya, ataupun apa saja yang terjadi, sama sekali tidak l;uput dari kekuasaanNya atau qudratNya. Maka demikian pulalah dengan iradahNya (kehendakNya). Dan atas inilah semua tafsir dari dirman-firman Allah SWT. yang menggambarkan dekatNya kepada makhluk-makhlukNya sebagai berikut di bawah ini:
Pertama, ayat 16 dalam Surat Qaf juz 26:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf: 16)
Kedua, ayat 85 dalam Surat Al-Waqi'ah juz 27:
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat." (Al-Waqi'ah: 85)
Ketiga, ayat 4 dalam Surat Al-Hadid juz 27:
"...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al-Hadid: 4)
B. Pengertian dekat kita kepada Allah ialah kita merasakan dengan "Ilmul-Yaqin" bahwa: Alam mayapada ini pada hakikatnya tidak ada, yakni tidak ada padanya wujud yang hakiki, karena ia berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada tiada. Atau asalnya tiada, kemudian ada dan seterusnya dengan kehedak Allah dan kekuasaanNya. Ia akan ada terus, seperti syurga dan neraka. Sedangkan wujud yang hakiki, yakni wujud yang tiada permulaannya dan tiada pula disudahi dengan tiada, ialah wujudnya Allah SWT. Dia tidak diliputi oleh tempat dan zaman atau masa. Bahkan Dia tidak seumpama dengan sesuatu apa pun dalam alam mayapada ini.
Apabila hal keadaan ini semua sudah merupakan Ilmul-Yaqin bagi kita, kemudian masuk meresap ke dalam bathin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan semua perasaan kita dapat melihat bahwa Allah SWT. dekat dengan kita. Dia melihat kita dan melihat segala gerak-gerik kita, lahiriah kita dan bathiniah kita. Barulah ketika itu kita merasakan cinta kepadaNya dengan melaksanakan apa-apa yang diridhaiNya, dan begitu takut padaNya apabila terkerjakan apa-apa yang tidak diridhai-Nya. Dan pada ketika itu pula kita senantiasa menjaga dan memelihara adab dan akhlak terhadapNya dengan adab-adab kita sebagai hambaNya kepada Dia yang bersifat dengan kemahasempurnaan dalam sekalian sifat-sifatNya.
Penghayatan yang sedemikian rupa adalah merupakan zikrullah yang paling penting yakni ingatnya kita kepadaNya dalam segala pekerjaan lahiriah yang kita sedang kerjakan, apakah itu bersifat dunia atau bersifat agama. Dan apalagi jikalau penghayatan yang demikian itu kita bawa serta ke dalam shalat kita dan ibadat-ibadat kita lainnya.
Yang demikian itulah disebut dengan hakikat "Al-Ihsan", yakni keterpaduan antara "Al-Iman" dengan "Al-Islam", atau dengan kata lain keterpaduan antara kepercayaan kepada Allah s.w.t. dengan pelaksanaan jaran-ajaranNYa seperti apa yang Dia telah wahyukan kepada Nabi-nabiNya sepanjang zaman, sejak Adam a.s. hingga Nabi dan RasulNya terakhir Muhammad SAW.
C. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa pengertian "dekat" di sini bukanlah maksudnya pendekatan dalam arti biasa dan umum menurut kelaziman kita sebagai makhlukNya, tetapi adalah menurut arti dan makna seperti yang kita uraikan di atas.
Kesimpulan:
Apabila kita telah merasakan pendekatan seperti tersebut di atas berarti tingkatan Tauhid kita kepada Allah SWT sudah berada dalam lingkungan daerah lapangan Tauhid buat hamba-hamba Allah yang shaleh, yakni para WaliNya menurut tingkatan nilai kemuliaan yang ditentukan olehNya. Mudah-mudahan kita semua dengan bantuan Allah dapat berjalan ke arah lapangan tersebut agar dapat dekat kepada Allah. Amin.
*Sumber Hakikat Hikmah Tauhid & Tasawuf (AlHikam) oleh Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly.
Komentar
Posting Komentar