Nabi Ibrahim, Bapak para Nabi itu, setidaknya setahun sekali lewat hari raya qurban kembali datang membawa pekabaran. Tepatnya mengulang-ngulang pekabaran tentang makna qurban dan keikhlasan. Karena mana mungkin makna itu tidak harus diulang dan diulang. Karena meskipun nabi-nabi telah diturunkan dan kepada kita tak bosan-bosannya diajarkan kebaikan, yang baik, yang ikhlas dan yang berkorban itu tampaknya masih saja mengalami penjarakan.
Jauh sebelum ilmu parenting dikembangkan, Ibrahim, Bapak para Nabi itu, telah menegaskan sebuah hubungan yang amat mencengangkan antara ayah dan seorang anak, tentang kekuatan cinta, kemesraan dan iman.
Tak seorang pun bapak di dunia ini yang tidak mencintai anak-anaknya tetapi tak setiap orang tua mengekspresikan kecintaan itu lewat kemesraan. Banyak orang membungkam cintanya cuma di dalam dunia abstrak dan tidak menjadi konkret di hadapan anak-anak.
Nabi Ibrahim telah sejak awal, jauh sebelum sekolah-sekolah kepribadian dibuka menegaskan tentang pentingnya pengungkapan cinta itu lewat kemesraan. Bahwa cinta adalah kata kerja. Maka cinta harus diekspresikan.
Kelembutan Ibrahim sebagai bapak, kepada anaknya, Isma’il, telah menjadi legenda dalam sejarah peradaban. Hubungan bapak dan anak ini sepertinya hanya diliputi dua hal saja; yakni kelembutan satu sama lain, kemesraan satu sama lain. Bukan sekedar karena Isma’il adalah putera satu-satunya, putera kesayangannya pula, melainkan karena bimbingan iman dihati keduanya.
Dahsyat sekali kekuatan iman itu, yang cinta, yang mesra, ditangan iman segera menjadi kekuatan yang menggelegak ! Keimanan adalah instrument keagamaan paling sempurna, karena cuma dengan iman nilai-nilai yang jauh, abstrak dan serba raksasa itu sanggup hadir dalam keterbatasan manusia.
Mempercayai tanpa harus lebih dulu memahami itulah iman. Dan cuma pribadi yang kuat yang terbimbing yang sanggup menjalani. Tetapi cuma pribadi yang sanggup menjalani yang akan bertemu kemuliaan. Untuk mulia memang cuma ada satu jalan. Cinta, kemesraan dan iman itulah yang akhirnya membuat Ibrahim melahirkan drama pengorbanan yang monumental ini. Bahwa perintah penyembelihan anak terkasih itu malah disambut dengan perayaan iman.
Isma’il tidak menempatkan dirinya sebagai korban, melainkan sebagai pihak yang sedang digembirakan Tuhan. Dan ketika kepasrahan telah diikrarkan oleh manusia, hadirlah bukti berikutnya, bahwa Tuhan lebih dulu mendahulukan kasih sayang-Nya ketimbang kemurkaan-Nya.
Maka bukan darah domba yang menjadi mahal di hadapan Tuhan, melainkan keikhlasan hamba-Nya. Maka jika keluarga dan negara dihidupkan cinta, kemesraan dan iman para penghuninya, negara semacam itu akan menjadi juara dalam pengertian sebenarnya.
*Sumber Sufi Underground
Komentar
Posting Komentar