Langsung ke konten utama

AL-FATIHAH AYAT 6-7


Jalan Yang Lurus Itu......


اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۞ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين

"Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat".

Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah).

Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah.

Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna.

Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan "menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur.

Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah.

Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily:

"Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya."

"Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai".

Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik, jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan surgawi belaka, janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh.

"Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat"

Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.

Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan.

Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an:
"Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga."
Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin.

Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal.

Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi.

Syari'at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah.

Amien.


*Sumber SufiNews

Komentar

Popular Posts

Tangisan Rasulullah SAW Ingat Umatnya di Akhir Zaman

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika itu baginda Rasullah  sedang berkumpul duduk bersama sahabat-sahabatnya, diantara para sahabat ada Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan lainnya. Lalu kemudian Rasul bertanya kepada para sahabat, “Wahai sahabatku! Tahukah kalian siapakah hamba Allah yang paling mulia disisi Allah?” Para sahabat pun terdiam. Lalu ada salah seorang sahabat berkata, “Para malaikat ya Rasulullah!” Kemudian Nabi bekata, “Ya, para malaikat itu mulia, mereka dekat dengan Allah mereka senantiasa bertasbih, berzikir, beribadah kepada Allah, tentulah mereka mulia. Namun bukan itu yang Aku maksud.”  Lalu para sahabat kembali terdiam. Kemudian salah seorang sahabat kembali menjawab, “Ya Rasulullah, tentulah para Nabi, mereka itu yang paling mulia.” Nabi Muhammad tersenyum, Baginda Nabi berkata, “Ya, para nabi itu mulia, mereka itu adalah utusan Allah di muka bumi ini, mana mungkin mereka tidak mulia, tentulah mereka mulia, akan tetapi ad...

Pengertian Dekat Kepada Allah

Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah SWT. Bagaimana pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut: "Dekat anda kepada-Nya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak (demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekat-Nya? Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti, karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut: A. Pengertian "dekat Allah SWT dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan pada kehendak (iradah). DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah SWT dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini be...

RAHASIA DIBALIK USIA 40 (Menyingkap Rahasia Nubuwwah Rasulullah SAW)

Rahasia umur Muhammad saat nubuwah, mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Mengapa Nabi Muhammad SAW. mengemban misi kenabian saat beliau berusia 40 tahun? Dan bukannya usia 30 atau 35, puncak kehebatan [fisik] manusia? Mengapa harus 40 tahun? saat fisik sudah berada di jalur turun, ibarat naik roll coster, 0-39 th adalah ketika kereta merambat naik, lalu di usia 40 lah si kereta roll coster mencapai puncak rel dan kemudian meroket turun.