إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۞
"Hanya kepada-Mu kami menyembah"
"Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan"
Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur'an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir.
Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT.
"Iyyaaka Na‘budu" dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi "Al-Fana". Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT.
Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan.
Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri."
Seorang sufi berkata, "Hakikatmu adalah keluarmu darimu", Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah"Bayang-bayang Allah", tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya.
Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT.
"Iyyaaka Na'budu" berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: "Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya'budun", seorang penafsir sufi mengatakan, "Maksudnya illaa liya'rifuun". Sehingga penafsirannya, "Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku".
Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan.
Sedangkan "wa-iyyaaka nasta'iin, "berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai "wahdatusy-syuhud", bukan
"wahdatul wujud". Wahdatusy-syuhud, yang berarti "kesatuan dalam penyaksian". Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti "seakan-akan bersatu".
Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut 'abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana', fanaul fana' kemudian baqa'.
Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, "Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya engkau senantiasa dilihat oleh-Nya."
Hamba Allah yang melihat Allah, pasti dirinya fana' dan hanya Allah saja yang baqa' (abadi). Hal yang sama hamba Allah yang senantiasa merasa dilihat Allah, dirinya tidak "berkutik". Gerak geriknya bukan lagi gerak-gerik "milik"nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT.
Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT.,
"...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya"…
Komentar
Posting Komentar