”Siapapun yang mengungkapkan hamparan kebajikan dari dirinya, maka rasa buruk pada dirinya di hadapan Tuhannya akan membungkamnya. Dan siapa yang mengungkapkan hamparan kebajikan Allah SWT kepadanya, maka keburukan yang dilakukan tidak membuatnya terbungkam.”
Maksudnya, siapa yang memasuki hadirat Allah SWT, lalu masih memandang dirinya sendiri, ketika akan mengungkapkan apa yang berlaku padanya pada khalayak, berupa karomah-karomah dan yang lainnya, maka akan muncul panggilan dari alam hakikat:
”Hai! Anda menyebutkan sejumlah karomah-karomah? Sedangkan anda tidak menyebutkan kehinaan anda?”
Lalu orang ini akan berhenti, bahkan ia lari dari alam yang ia pandang, berganti gelisah dan tercekam, berganti dengan ketersembunyian yang senyap, menutup diri, dan inilah kondisi yang dialami oleh kaum yang berada di maqom zuhud, maqom ahli ibadah dan ahli wirid. Karena ia belum meraih kema’rifatan yang hakiki, sehingga masih muncul keakuan dan ego.
Sedangkan orang yang memandang hamparan kebajikan itu dari Allah SWT, mengamalkan apa yang telah dilimpahkan padanya, kembali kepada-Nya, dan segala hal yang dianugerahkan oleh-Nya, maka itulah saatnya ia mengungkapkan melalui bahasa lisannya, menjelaskan apa yang dari Tuhannya. Ia tidak tercekam dan segan ketika mengungkapkan, tidak peduli apakah ia dipuji maupun dihina. Bahkan ia tidak melihat dirinya, ia hanya memandang pengetahuan dari Allah Azza wa-Jalla yang tampak jelas di depan matanya. Demikian dijelaskan oleh Syeikh Zarruq dalam syarah Al-Hikam.
Pengungkapan wacana kebenaran bisa dengan ungkapan hakikat, namun belum tentu hakikat itu dialami oleh yang mengungkapkan. Itulah kondisi dalam diri para Ulama, para pemula dan penempuh. Namun ia tetap bisa memberikan makna faedah dan pengetahuan. Walaupun ia sendiri belum sampai pada hakikat itu.
Namun ada yang telah sampai ke wilayah hakikat dan kemandirian ruhani, itulah kondisi kaum ahli ma’rifat yang telah meraih keparipurnaan, dan ia mampu memberikan kekuatan pengaruh dalam jiwa umat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary:
”Cahaya para ahli hakikat telah mendahului ucapan-ucapannya, maka sejauhmana pencerahan yang diterima, sejauh itu pula ungkapan muncul”.
Hikmah-hikmah yang muncul dari ahli hakikat kartena telah didahului oleh limpahan Cahaya dari Allah SWT, bukan sebaliknya, yang dilakukan oleh para Ulama, beraksioma, berlogika baru menjurus pada pencarian cahaya.
Kaum ’arifin senantiasa merasukkan cahaya itu pada para pendengar hikmahnya, karena apa yang berada dalam qalbu, akan menyambung dengan qalbu-qalbu pendengarnya.
Bila hubungan dari hati ke hati yang disampaikan oleh ahli hakikat tidak sampai pada hati seseorang, maka hati orang itu pasti sedang tergelapkan, tersesatkan, seperti hati orang-orang kafir dan munafiq, ketika disampaikan cahaya hakikat mereka menolak, bahkan menentangnya. Hingga digambarkan mereka ini sampai menutup telinganya dengan jari-jarinya ketika ada kilatan-kilatan cahaya dari Allah SWT. Mereka menutup telinga hatinya.
Jari-jari dari tangan-tangan nafsunya bergerak untuk menutup diri dari hakikat-hakikat Ilahiyah. Bisa karena gengsi dan harga diri, bisa karena takabur dan ta’jub pada diri sendiri, bisa karena takut jika hakikat kebenaran itu merasuki hatinya, ia akan kehilangan kekuasaan, nama besar dan simbol-simbolnya.
Dan bahkan ia menutup telinga hatinya karena iri dan dengki.
*Sumber Sufinews.com
Komentar
Posting Komentar