Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.
Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf.
Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .
Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik haji dan lain
Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.
Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk kepada akhlak
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan
Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,
“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.
Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syari’at lahir, umpanya, sholat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dll.
Tentang Iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (usuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah / kepercayaan), umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, Malaikat-Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari bangkit, surga, neraka, qada dan qadar (takdir).
Tentang Ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasauf, sasarannya akhlak, budi pekerti, bathin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan Tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui 3 (tiga) unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari.
Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jama’ah / manhaj / metode / jalan.
Waspadalah jika jama’ah / manhaj / metode / jalan yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena itu memungkinkan ketidak sempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu Tasawuf itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan bahkan Qur’an dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya.
Andaikata ada kelihatan orang-orang Tasawuf yang menyalahi syari’at, umpamanya ia tidak sholat, tidak sholat jum’at ke mesjid atau sholat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang Tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.
Jadi syarat untuk mendalami ilmu Tasawuf (tentang Ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid / usuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketaqwaan kita.
Mulai sebagai muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.
Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
catatan penting bagi Kita yang mencintai Ilmu tasyauf. maka jangan hitaukan celotehan dan kicauan sang penentang ilmu tasyauf
Mereka yang menentang ajaran Ilmu tasyauf akan membawakan kalam imam Syafi’I ini salah satu bentuk kedustaan mereka terhadap Imam Syafi’i.
Dusta sang penentang atas Nama Imam syafi’i
Pertama :
ุฑูู ุงูุจูููู ูู "ู
ูุงูุจ ุงูุดุงูุนู" ุนู ูููุณ ุจู ุนุจุฏ ุงูุฃุนูู ูููู: ุณู
ุนุช ุงูุดุงูุนู ูููู: ูู ุฃู ุฑุฌูุงً ุชุตَّูู ู
ู ุฃูู ุงูููุงุฑ ูู
ูุฃุช ุนููู ุงูุธูุฑ ุฅูุง ูุฌุฏุชู ุฃุญู
ู.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan di dalam kitabnya Manaqib asy-Syafi’I dari Yunus bin Abdul A’la, aku mendengar imam Syafi’I berkata: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”
Kedua :
ูุนูู ุฃูุถุง ุฃูู ูุงู ู
ุง ูุฒู
ุฃุญุฏ ุงูุตูููุฉ ุฃุฑุจุนูู ููู
ุง ูุนุงุฏ ุนููู ุฅููู ุฃุจุฏุง
Dari imam Syafi’I juga, bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.”
Benarkah imam Syafi’i seperti apa yang mereka katakan ??
Jawaban :
Pertama : Khobar pertama di dalam sanadnya oleh para ulama masih diperselisihkan artinya tidak tsiqah. Dalam periwayatan lainnya menggunakan kalimat “Lau laa” (seandainya tidak).
Dalam kitab Hilyatul Aulia disebutkan sbgai berikut :
ุญَุฏَّุซََูุง ู
ُุญَู
َّุฏُ ุจُْู ุนَุจْุฏِ ุงูุฑَّุญْู
َِู ، ุญุฏَّุซَِูู ุฃَุจُู ุงْูุญَุณَِู ุจُْู ุงَْููุชَّุงุชِ ، ุซูุง ู
ُุญَู
َّุฏُ ุจُْู ุฃَุจِู َูุญَْูู ، ุซูุง ُُูููุณُ ุจُْู ุนَุจْุฏِ ุงูุฃَุนَْูู ، َูุงَู : ุณَู
ِุนْุชُ ุงูุดَّุงِูุนَِّู ، َُُูููู : " َْูููุง ุฃََّู ุฑَุฌُูุง ุนَุงِููุง ุชَุตَََّูู ، َูู
ْ َูุฃْุชِ ุงูุธُّْูุฑَ ุญَุชَّู َูุตِูุฑَ ุฃَุญْู
ََู "
“ Seandainya orang yang berakal tidak bertasawwuf, maka belum sampai dhuhur, ia akan menjadi dungu “
Sanad periwayatan ini muttasil dari pengarang kitab Hiltyatul Aulia hingga sampai pada imam Syafi'i dan lebih kuat karena menggunakan shighah tahdits / sama’ (lambing periwayatan yang didengarkan secara langsung secara estafet).
Kedua ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’I tersebut dengan bodoh terhadap makna yang sebenarnya.Benarkah itu sebuah celaan terhadap ajaran tasawwuf ??
Makna yang sesungguhnya adalah :
“ Tidaklah seseorang belajar tasawwuf tanpa didahului ilmu fiqih, maka tidaklah datang waktu dhuhur maksudnya waktu sholat, kecuali dia dalam keadaan dungu yakni dalam keadaan bodoh, dia tidak mengerti bagaimana beribadah dengan Tuhannya “.
Makna seperti ini sesuai dengan kalam para ulama lainnya seperti imam Sirri As-Saqothi yang berkata kepada imam Junaid dan disebutkan oleh al-Hafidz Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulub sebagai berikut :
“ Imam Sirri as-Saqothi berkata pada imam Junaid “ Jika kau berpisah dariku, siapakah yang kau duduk bersamanya ? Imam Junaid menjawab “ Al-Harist al-Muhasibi “. Imam Sirri berkata “ Benar, ambillah ilmu dan adabnya, dan tinggalkan kalam lembutnya “. Imam Junaid berkata “ Ketika aku hendak pergi aku mendengar beliau berkata :
ุฌุนูู ุงّููู ุตุงุญุจ ุญุฏูุซ ุตูููุงً ููุง ุฌุนูู ุตูููุงً ุตุงุญุจ ุญุฏูุซ
“ Semoga Allah menjadikanmu ahli hadits yang bertasawwuf dan tidak menjadikanmu ahli tasawwuf yang pandai hadits “.
Ketiga ; Mereka menukil ucapan imam Syafi’I tersebut dari imam Baihaqi dalam kitabnya Manaqib Asy-Syafi’i. Seandainya mereka mau jujur, maka mereka seharusnya juga menampilkan kalam imam Baihaqi terhadap kalam imam Syafi’I tersebut dan tidak membuangnya. Namun karena tujuan mereka untuk mengelabui umat dari makna yang sebenarnya, mereka tak lagi peduli pada kejujuran dan amanat. Fa laa haula wa laa quwwata illa billahi..
Berikut komentar beliau stelah menampilkan kalam imam Syafi'i tsb dalam kitab beliau Manaqib Asy-Syafi'i juz 2 halaman 207 :
ููุช : ูุฅูู
ุง ุฃุฑุงุฏ ุจู ู
ู ุฏุฎู ูู ุงูุตูููุฉ ูุงูุชูู ุจุงูุงุณู
ุนู ุงูู
ุนูู، ูุจุงูุฑุณู
ุนู ุงูุญูููุฉ، ููุนุฏ ุนู ุงููุณุจ، ูุฃููู ู
ุคูุชู ุนูู ุงูู
ุณูู
ูู، ููู
ูุจุงู ุจูู
، ููู
ูุฑุน ุญููููู
ููู
ูุดุชุบู ุจุนูู
ููุง ุนุจุงุฏุฉ، ูู
ุง ูุตููู
ูู ู
ูุถุน ุขุฎุฑ
" Aku katakan (Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut): ” Sesungguhnya yang imam Syafi'i maksud adalah orang yang masuk dalam shufi namun hanya cukup dengan nama bukan dengan makna (pengamalan), merasa cukup dengan simbol dan melupakan hakekat shufi, malas bekerja, membebankan nafkah pada kaum muslimin tapi tidak peduli dgn mereka, tidak menjaga haq-haq mereka, tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau menyifai hal ini di tempat yang lainnya. "
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Inilah yang dimaksud oleh imam Syafi'i, maka jelas bahwa beliau tidak mencela ajaran tasawwuf dan penganutnya.
Dan cukup kalam imam Syafi’i berikut ini dalam bentuk bait syi’ir untuk membungkam hujjah mereka :
ููููุงً ูุตูููุงً ููู ููุณ ูุงุญุฏุง ูุฅูููู ูุญูู ุงููู ุฅููุงู ุฃูุตุญ
ูุฐูู ูุงุณ ูู
ูุฐู ููุจู ุชูููู ููุฐุง ุฌููู ููู ุฐู ุงูุฌูู ูุตูุญ
“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.
Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “.
(Diwan imam Syafi’i halaman : 19)
Komentar
Posting Komentar