Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut : al- Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) dapat dimasukkan kedalam kategori al-masa’il al-mu’ashirah atau masalah-masalah hokum Islam kontenporer. Karena itu, status hukumnya dapat
dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk kedalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hokum yang tidak mempunyai referensi nash hokum yang pasti.
dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk kedalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hokum yang tidak mempunyai referensi nash hokum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk kedalam paradigm al-nushush qad intihat wa al-waqa’ ila tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk pada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa fariabel perubahannya, yakni : waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat.
Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigm ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa al-haqiqoh fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik ; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigm ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan dalam al-Quran digunakan istilah al-Mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan kedalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan tas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruangan atau waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32 /1997 tentang PBK.
salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjual belikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Didalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan dari pada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan : “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan didalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut :
a. Rukun sebagi unsure-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi. Unsure-unsur utama didalam bay’ al-salam adalah : 1. Pihak-pihak pelaku dalam transaksi (‘aqid) yang disebut dalam istilah muslim atau muslim ilaih. 2. Obyek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (sighat ‘aqad), yaitu ijab dan qabul.
Yang perlu diperhatikan dalam dari unsure-unsur tersebut adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyyah menekan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf didalm kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‚aqd al-salam adalah bay‘ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual beli (bay).
b. Syarat-syarat :
1. Persyaratan menyangkut obyek transaksi adalah : bahwa obyek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai : jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin) sifatnya ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
2. Persyaratan yang harus dipenuhi harga tukar (al-Tsaman) adalah pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah, atau dolar dsb. Atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua , kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar amerika, dolar singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst. Ketiga, kejelasan tentang kwalitas obyek transaksi, apakah kwalitas istimewa, baik sedang atau buruk.
Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi ad – `aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi – kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan diantara para pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Keempat, kejelasan jumlah harga tukar.
Penjelasan singkat diatas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan tentang kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaanya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi : ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh (apa yang tidak dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya).
Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay‘ al-salam. []
Komentar
Posting Komentar